REFLEKSI GERAKAN PEMUDA KONTEMPORER

respublica
Oleh : Imran Bajank
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejatinya tidak dapat terlepaskan dari gerakan pemuda. Peran mereka dapat dilihat pada masa awal perjuangan kemerdekaan, masa kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Ketika itu hampir dalam semua momentum kebangsaan  pemuda selalu memainkan dinamika pergerakan nasional. Para pemuda seperti Sukarni, Soekarno, Hatta dan Tan Malaka sukses mengobarkan semangat rakyat untuk melawan penjajah. Adanya semangat itu, seperti dicerminkan Soekarno, salah satu pemuda Indonesia yang mengobarkan kata-kata penuh semangat “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.
Takdir sejarah juga membuktikan kecemerlangan pemuda dalam mengorganisir sebuah pertemuan besar pada 28 Oktober 1928 yang mampu menyatukan kekuatan pemuda Indonesia dalam sebuah ikatan kebangsaan. Ketika itu sendi primordialisme dalam tubuh organisasi kepemudaan runtuh, digantikan semangat persatuan dan kesatuan. Melalui diskusi intensif untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, para pemuda tergerak memproklamirkan Sumpah Pemuda. Subtansi sumpah sangat sakral dimana pemuda Indonesia berjanji untuk bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; berbahasa satu, bahasa Indonesia. 
Kalimat sederhana itu sungguh terasa dashyat sebab menghadirkan rasa persatuan kaum muda Indonesia. Sumpah itu juga meninggalkan pesan betapa pemuda berusaha mengembalikan semangat zaman  dengan bergerak dan bekerja keras untuk tetap menggelorakan semangat kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Para pemuda sadar resiko sumpah itu sama dengan menantang maut. Namun mereka sudah bertekad mempersembahkan nyawa demi jembatan emas kemerdekaan seperti yang dikumandangkan Soekarno. Dapat dikatakan, semangat zaman itulah ruh pergerakan yang mampu mengalahkan kekurangan modal dan materi melawan penjajahan yang sudah berlangsung lama sehingga menghasilkan perubahan signifikan untuk perbaikan nasib bangsa Indonesia di masa mendatang. 
Ø  Tiga Pesan Zaman
Jika kita telusuri mendalam, Sumpah Pemuda memiliki tiga nilai strategis yang layak menjadi hikmah bagi pemuda masa sekarang.
Pertama, sumpah pemuda adalah alat pemersatu nasionalisme dan perjuangan pemuda. Melalui sumpah pemuda, kita menyaksikan realitas atas konsepsi geo politik (tanah air Indonesia), kesatuan identitas (bahasa Indonesia) dan nasionalisme (bangsa Indonesia) disuguhkan secara nyata. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda adalah pernyataan politik gerakan kepemudaan dalam mendorong kemerdekaan Indonesia.  (Jamal Arifansyah; 2012).
Kedua, Sumpah Pemuda adalah peletak arah dan tujuan perjuangan menentang kolonialisme. Sebagai pernyataan politis, sumpah pemuda menyiratkan pemuda siap menjadi martir dalam menjemput kemerdekaan Indonesia. Bagi pemuda, kemerdekaan adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi. Idealisme itu ternyata sukses membakar semangat pemuda, sehingga di kemudian hari sejarah terus mencatat pemuda adalah pendorong, inisiator dan inspirasi kemerdekaan Indonesia yang berkumandang tepat 17 Agustus 1945.
Ketiga, Sumpah Pemuda menjadi genealogi-politik mencapai kemerdekaan Indonesia. Peristiwa  1928 menjadi bukti, Indonesia sudah memiliki kejelasan identitas ketika kemerdekaan kelak dapat dicapai bansga Indonesia. Kejelasan identitas itu adalah adanya unsur tanah air, bahasa, lagu kebangsaan, dan bendera merah putih sebagai simbol bersama gerakan kepemudaan di Indonesia. Ini membuktikan, bagaimana pemuda adalah manusia visioner yang memiliki gagasan dan beraksi nyata, berfikir dan bertindak untuk kemajuan bangsa bukan kelompoknya semata.
Ø Kondisi (tantangan)Pemuda Kontemporer
Namun tiga titik kecemerlangan sumpah pemuda Indonesia sekarang mendapatkan tantangan yang sangat berat. Menurut aktivis Lumbung Informasi Rakyat (Lira), Jusuf Rizal, pemuda saat ini mengalami tiga persoalan mendasar yakni lemah membaca trend, gagal berdamai dengan dinamika zaman dan tumpulnya daya visioner. Semua itu bermuara dari serangan budaya permissif dan mengendurnya nilai persatuan yang beberapa waktu belakangan menyerang pemuda Indonesia. Akibatnya mudah ditebak, pemuda linglung dalam menentukan sikap sehingga kehilangan musuh bersama (common enemy).
Jika pemuda generasi 1928 mendapatkan kolonialisme sebagai musuh bersama, pemuda kontemporer kehilangan musuh bersama dalam kehidupan bangsa. Padahal kemiskinan merajalela, mutu pendidikan rendah, korupsi menggurita dan budaya destruktif (tawuran pelajar/mahasiswa, gaya hidup hedonis, pornografi dan free seks) terjadi hampir di seluruh Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dari pemuda Indonesia, kesadaran untuk melihat persoalan secara jernih sehingga dapat menentukan musuh bersama bangsa Indonesia.
Dalam merespons itu semua, sudah selayaknya momentum 1928 kembali dihadirkan kembali dalam kepribadian pemuda Indonesia. Semangat sumpah pemuda harus kembali mengisi ruang publik dengan menggelorakan perang kepada kebodohan, korupsi, pengangguran dan kemiskinan. Para pemuda tidak boleh berhenti menumbuhkan jiwa nasionalisme dengan beraktualisasi diri mengembalikan kemandirian bangsa dari cengkeraman asing. Pemuda harus diingatkan agar tidak jadi generasi anak mama, yang cengeng dan rajin menuntut tanpa mampu berkontribusi untuk kemajuan Indonesia.
Ø  Politik Pasca 1998 : Membaca Wajah Demokrasi Indonesia Saat Ini
Sekedar menengok saja, harapan atas perubahan politik dan demokratisasi begitu kuat pada transisi politik 1998 karena sudah tidak relevannya bangunan sistem lama yang sekian lama berkuasa. Semua orang berharap perubahan itu bisa diwujudkan. Bagi rakyat kebanyakan, perubahan itu berarti pengandaian terjadinya perubahan pada tata kelola negara yang lebih baik yang akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Gelombang harapan itu kian waktu kian menyurut manakala apa yang diartikan sebagai perubahan nasib tidak kian membaik. Tidak menutup mata, ada beberapa prestasi reformasi yang hari ini bisa dirasakan terutama beberapa kebijakan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis seperti kebebasan pers dan hak kebebasan berpolitik yang lebih longgar. Boleh saja itu menjadi poin kemajuan transisi ke arah lebih demokratis, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa konfogurasi perubahan itu juga mencipta wajah krisis dan problem sosial yang makin merupa dengan berbagai bentuk. 
Apa yang difahami sebagai ‘kebebasan’ dan ‘keterbukaan’ sebagai unsur demokratisasi dalam bangunan perspektif liberal, tidak begitu saja kemudian bisa mengangkat derajat solidaritas, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Keterbukaan dan kebebasan tidak menutup ruang atas lahirnya manifes eksploitasi baru. Kebebasan lebih bercitra ‘pasar’ ketimbang demokrasi sesungguhnya. Nalar budaya yang dibangun adalah ‘kompetisi’ dan bukan ‘solidaritas’. Warga negara menjadi subjek anonim. Anonimitas mendorong individualisme yang bergerak tak ubahnya seperti kerumunan konsumen pasar. Makna politik akhirnya menyempit tak ubahnya medan transaksional tukar beli. Kemanfaatan politik menjadi memusat hanya pada sejauh mana ia mampu mendorong ‘laba’ atau ’profit’ politik yang terkosentrasi pada minoritas yang terbatas. Bagi Hannah Arendt, politik tak ubahnya akan hanya menjadi ‘pasar’ jika ruang pablik politis terdistorsi oleh nalar kepentingan kapital. 
Problem menjadi semakin akud, manakala transisi politik demokrasi tidak dibarengi dengan keseriusan mengawal aspek terpentingnya yakni  ‘komitmen keberpihakan’. Komitmen etis tak lagi ada ketika ruang demokratisasi bisa disulap menjadi sekedar ruang kompetisi tanpa batas. Tentu saja yang akan menjadi pemenang adalah mereka yang mempunyai perangkat modal kekuasaan yang lebih terutama kapital sumber daya dan logistik uang. Hukum dan kebijakan yang diharap menjadi pengendali dan pelindung masyarakat sekedar menjadi tangan panjang dari kekuatan pasar. Apalagi senyatanya bahwa klaim transparasi, partisipasi, kebebasan, kemerdekaaan bersuara, hanya berlaku pada momen dan konteks terbatas. Lebih hanya menjadi fiksi dan manipulasi ketimbang sebuah habitus dan budaya politik yang nyata.
Pemilu sebagai gambaran sederhana atas wujud demokrasi tidak beranjak dari residu persoalan yang makin menguat. Oligarkhi nepotisme kekuasaan pada sistem otoritarianisme tak berubah. Justru pemilu pasca reformasi melahirkan sistem oligarkhi dengan kecenderungan ‘plutokrasi’  yang lebih terdeferiansi dalam berbagai mutualismenya. Kekuatan intervensi modal, money politik, biaya lonjakan pemilu, kekerasan sosial, dan hilangnya nalar keberpihakan pada kelas rakyat mayoritas justru semakin menguat. Pepatah dan metafora ‘menuang anggur lama dalam botol yang baru’ seolah menjadi kenyataan. Kebebasan kian hari justru menjadi ‘mimpi horor’ bagi jaminan kehidupan manusia. Dengan kebebasan itu pula rezim lama berhasil menutup segala ingatan kolektif massa tentang kejahatan yang pernah diperbuat. Dengan kebebasan pula rezim telah membangun rehabilitasi pencitraan diri. Tak menjadi sulit bagi seorang ‘penjahat masa lalu’ mengubah diri menjadi ‘pahlawan’ pada saat ini. Cita-cita kebebasan dalam sistuasi seperti ini menjadi terasa ‘menjengkelkan’ dan  ‘absurd’. Menjadi mengembang sebagai ‘fiksi’ ketimbang membumi dalam kenyataan.
Sedikit meminjam catatan kritis dari Vedi R. Hadiz, kenyataannya Indonesia tidak sedang dalam ‘transisi politik’. Pertama, format demokrasi yang sekarang ditegakkan adalah sebuah sistem yang ditandai oleh praktik-praktik politik uang dan kriminalitas politik yang sama sekali tak beranjak dari sistem yang lama yakni nalar politik Orde Baru. Kedua, tidak ada satu sistem kendaraan reformasi murni yang efektif. Ketiga, menurut Hadiz, kerangka perubahan politik yang baru itupun lahir dan berkembang dalam sifat khusus dari kekuatan-kekuatan sosial yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan menyusul jatuhnya Soeharto. Menyoal transisi demokrasi dan analisisnya tentang demokrasi di Indonesia ia secara kritis menambahkan bahwa :“…bahwa demokrasi, dalam kondisi tertentu, tidak kalah bergunanya bagi berbagai kepentingan ‘predatoris’, sebagaimana rezim otoritarian yang antidemokrasi, dengan suatu syarat bahwa kelompok-kelompok dominan ini mampu menguasai dan memanfaatkan lembaga-lembaga demokratik secara paksa.  Formasi institusional politik boleh berubah tetapi yang berkuasa tetap rezim dan aktor-aktor yang sama.
Jika perjuangan demokrasi di saat ‘rezim totaliter Orde Baru’ lebih menempatkan vis a vis pihak kawan dan lawan yang lebih jelas, perjuangan demokratisasi saat ini justru berhadapan dengan nalar tubuhnya sendiri yakni kebebasan sekaligus para pelaku politik yang ‘predatoris’. Nalar utamanya tetap merampok walaupun membawa jargon demokrasi dan perubahan sebagai klaim politiknya. Sistem oligarkhi lama tidak bergeser. Oligarkhi baru makin menguat dengan berbagai praktik berdemokrasi. Era demokrasi justru menumbuh suburkan ‘kartel-kartel kekuasaan’ yang berorientasi pada kekuasaan modal. Mau tidak mau, krisis demokrasi harus dibaca mempunyai dua problem yakni nalar logikanya sendiri dan praktik relasi kuasa yang berkepentingan atasnya. Barangkali sebagian orang tidak begitu saja setuju dengan premis ini. Namun untuk perluasan sudut pandang, analisis semacam ini perlu menjadi perhatian. Jika poinnya melihat bahwa ‘demokrasi’ adalah sistem yang cukup berkapabilitas menjawab kehendak perubahan, situasi krisis saat ini wajar orang akan bertanya: apakah sedemikian lemahnya prinsip nalar demokrasi berhadapan dengan kooptasi relasi kekuasaan di luar dirinya?
Ø  Arah Perjuangan Pemuda (revolusi berarti memulai)
Kepahlawanan dan kepemudaan merupakan dua entitas berbeda namun saling beririsan. Dalam artikulasi paling longgar, kepahlawanan bisa dimaknai sebagai kepeloporan. Sementara kepemudaan bisa direpresentasikan sebagai akumulasi dari pelaksanaan beragam karakter dinamis (idealisme) pemuda seperti militansi, pencarian kebenaran dan keadilan, perubahan, pengorbanan, dst., sebagai mesin utama (ideologi) gerakan, dengan kepeloporan sebagai semangat utamanya. Dengan demikian, jika pemuda yang memelopori suatu perjuangan dengan tujuan perubahan, maka pemuda itu dapat dikelompokkan sebagai pahlawan. Sebut saja peristiwa Semanggi (1998) yang merenggut nyawa beberapa aktivis (pemuda/mahasiwa) karena perjuangan reformasi. Sehingga para aktivis yang gugur tersebut merupakan pahlawan reformasi. Akan tetapi, mungkinkah gerakan pemuda/mahasiswa dalam berbagai momentum perubahan dapat disebut sebagai reproduksi gerakan Sumpah Pemuda (1928) yang dimotori Muh. Yamin, dkk.?
Jika gerakan pemuda 1928 lebih direkatkan kesamaan idealisme dalam menyatakan identitas (Indonesia) dan pentingnya persatuan untuk membebaskan diri dari lilitan kolonialisme Belanda, maka hari ini, gerakan pemuda sejatinya lebih didasarkan kepentingan pragamatis yang berceceran di atas hamparan tema-tema parsial bahkan sektarian.
Argumen ini bisa dilacak melalui fenomena gerakan pemuda saat ini, di mana tema gerakan yang diusung lebih sebagai keterjebakan pemuda dalam irama politik praktis atas sirkulasi kekuasaan dan kepemimpinan (nasional/lokal). Keterjebakan pemuda dalam gerakan dimaksud, salah satunya dipicu kian memudarnya pemahaman pemuda terhadap ideologi atau nilai-nilai perjuangan yang disuarakannya. Idelogi, seperti telah disebutkan di atas, justru tak lagi menjadi “roh” dalam perjuangan itu. Ironisnya, bersamaan dengan perjuangan/gerakan itu, watak anarkisme pun seakan menjadi penanda utama setiap gerakan. Akibatnya, pemuda kurang memiliki ketahanan idealisme dalam menghadapi dahsyatnya godaan dan serangan pragmatisme.
Padahal, idealisme merupakan aspek utama yang paling dibanggakan dari sosok pemuda. Jika idealisme ini sudah tergadaikan dengan hal-hal yang bersifat pragmatisme yang kontemporeristik, lalu apa lagi yang harus dibanggakan dari pemuda?
IDEOLOGI bukan ilmu nujum yang disusun untuk impian dan ramal meramal perubahan. Kemampuan rasional manusia melihat masa depan harus dibuktikan dengan membangun relasi substansiil dengan proses yang berlangsung pada SAAT INI; bukan dengan mengumpul-ngumpulkan busa angan-angan menjadi gambaran yang seakan masuk akal.
Pintu akal kita, yang dengannya pikiran kita bakal terbuka dan dapat merencanakan (ingat; merencanakan, bukan meramal) masa depan, adalah tindakan dialektika yang sungguh-sungguh kita wujudkan melalui ukuran dan hitungan kenyataan.
Yang pertama, harus kita hindari adalah penyakit Rabies Ideologorum segolongan orang yang dengan merumit-rumitkan persoalan merasa sudah menyelesaikan persoalan. Padahal, yang mereka lakukan adalah mencampuradukkan kenyataan dengan impian; perjuangan dengan kepentingan. Di kalangan Marxis, penyakit ini dapat kita lihat gejalanya pada mereka yang dari inisiasi Tuan Marx tentang TEORI YANG MERUBAH KEADAAN tapi akhirnya mencukupkan diri menjadi bagian dari TEORI MEMANFAATKAN KEADAAN yang sesungguhnya merupakan sisa peninggalan gaya intelejen Amerika Serikat, masa Perang Dingin, untuk mendiskreditkan dan membersihkan kelompok-kelompok politik berhaluan Marxis.
Perang dingin sudah lama selesai; tetapi kesalahkaprahan yang diakibatkannya masih diagung-agungkan bahkan sampai sekarang. Korban Rabies Ideologorum dengan lantang menyuarakan pilihan-pilihan politik yang dinyatakan sebagai cita-cita rakyat dengan bahasa yang telah dipersiapkan oleh ideologi dan kepentingan yang justru anti-rakyat.
Mengembalikan ideologi sebagai jawaban persoalan-persoalan ekonomi politik serta kebudayaan rakyat, kita musti bikin jernih pikiran perjuangan kita sehingga tidak diboroki penyakit-penyakit yang meruyak dari busuknya kekuasaan. Ideologi bukan alat mencapai kekuasaan, justru kekuasaan harus DITUNDUKKAN untuk tercapainya cita-cita ideologi.
REVOLUSI BUKAN MIMPI BURUK. Situasi revolusioner yang sesungguhnya tidak bakal bisa diciptakan dengan menyebarkan seluas-luasnya kecemasan. Tugas kaum revolusionerberbeda dengan tugas tentara­bukanlah menakut-nakuti rakyat supaya bertindak di atas ketidaksadarannya. Membangun benteng sekaligus gudang senjata kesadaran massa sehingga aksi-aksi revolusioner mereka dapat menjadi langkah yang efektif bagi tercapainya cita-cita pembebasan. Itulah tugas utama nasional demokrasi kerakyatan dari pergerakan.
Tidak ada GLADI RESIK dalam revolusi. Itulah satu-satunya alasan kenapa kita butuh KEWASPADAAN, bukan KECURIGAAN yang hanya akan melahirkan rencana-rencana gerakan tidak lebih sebagai bentuk lain frustasi permanen para pemburu kekuasaan. Bagi kaum nasional demokrasi kerakyatan, fitnah bukan cara yang efektif untuk menyalakan api revolusi.
Meretas jalan kemenangan; kekuatan pergerakan musti dengan sukarela dan gembira membangun ideologinya sebagaimana kaum tertindas dunia ketiga, buruh tani Indonesia, menempa keuletannya berhadapan dengan silih ganti penghisapan-penindasan. Keliatan sejarah rakyat Indonesia sebagai bangsa terjajah: inilah modal awal perjuangan militan negeri ini.
Belum munculnya kelompok terdidik yang secara sadar dan bertanggungjawab menyediakan diri untuk merumuskan secara sistematis jalan keluar bagi keuletan itu dari semata-mata bentuk keterpinggiran; eskapisme historis, adalah penyebab utama kenapa Rakyat Indonesia; dengan ketangguhan mental yang secara alamiah tertempa oleh sekian ratus tahun penindasan serta optimisme yang selalu segar dan hijau, sampai saat ini masih harus tertahan kemenangannya.
Seksi mahasiswa perjuangan Rakyat Indonesia, punya kebutuhan penting di lingkungan ini. Bukan untuk mengobral teori dan kesombongan sebagai pemasok kesadaran ke kepalanya buruh tani; akan tetapi untuk menjadi penghubung antara keliatan fikiran dan kearifan mereka dengan fase-fase perjuangan menyusun kemerdekaan. Sebagai kekuatan produktif, daya juang serta daya tahan ekonomi politik mereka akan menjadi gelombang besar pergerakan bersama kepemimpinan organisasi perjuangan yang siap dan bersedia MENJADI MEREKA, bukan membawa-bawa nama mereka.

Ø  Tugas Nasional Perjuangan Pemuda

Cita-cita nasional kita, bukan untuk dibandingkan dengan cita-cita nasional Soekarno dan kawan-kawan sezaman, lahir dari dan untuk Perjuangan Semesta mengukuhkan kuasa rakyat atas alat produksi, sistem pemerintahan, dan ilmu pengetahuan. Lahir dan didorong oleh kemestian menegoisasikan kembali bangunan sejarah yang sejak awal diwataki oleh hukum-hukum penindasan, perjuangan nasional adalah tindakan permanen memperjuangkan martabat ekonomi politik rakyat di atas dasar kemandirian sejarahnya.
Tindakan; (apa yang pernah dilakukan Soekarno dan kawan-kawan, apa yang sedang dan hendak kita lakukan) itulah yang (akan) membedakan setiap periode perjuangan! Mengorganisir liatnya mental yang terbentuk dari pengalaman ekonomi politik selama berada di bawah kolong ketertindasan, dan mengarahkannya sampai derajat yang memungkinkan rakyat menemukan titik ideologis dari fikiran-fikirannya; kesadaran pokok dari pengalaman-pengalamannya, merupakan tugas kebudayaan perjuangan pemuda Indonesia dalam memulihkan martabat sejarah rakyatnya.
Pembudayaan secara revolusioner siasat rakyat mempertahankan hidup di bawah penindasan yang paling maksimal sekalipun, akan mengantarkan Rakyat Indonesia pada kesadaran dan tindakan yang lebih utuh dalam memaknai perjuangan. Proses sejarah rakyat mensiasati penindasan harus dihubungkan dengan proses mempersiapkan pembebasan.
Di lapangan ekonomi politik, perjuangan nasional pemuda haruslah menjadi benteng ekonomi politik rakyat, dari praktek LEMPAR BATU AMBIL EMASNYA kapitalisme internasional c.q. borjuasi nasional yang memiskinkan alam dan membodohkan manusia Indonesia.

Ø  Tugas Demokratik Perjuangan Pemuda

Demokrasi adalah sebuah model berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Demokrasi di sini bukan diartikan dalam konteks liberalisasi melainkan kritisisme di tingkatan massa. Demokrasi, demokratisasi dan perjuangan demokratik bukanlah semata-mata kemunculan banyak partai dan kebebasan vulgar liberalisme, akan tetapi sebuah sikap dan perbuatan yang mana kepentingan rakyat bisa terlaksanakan dan struktur penindasan terkuburkan oleh elemen-elemen politik.
Di sisi yang lain, demokrasi tidak meletakan rakyat hanya sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, melainkan munculnya kritisisme massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Bagaimana demokrasi harus di pahami, tentu sangatlah bergantung dengan kepentingan rakyat yang terjalin lewat logika ekonomistis sebagai turunan dari moda produksi yang dimungkinkan dalam sebuah formasi sosial.
Demokrasi menjamin perjuangan kelas tertindas dan merumuskan tuntutannya melalui organisasi-organisasi yang basis konstituennya jelas, dan terintegrasi secara vertikal. Dari kehadiran organisasi-organisasi tersebut, terbentuklah formasi politik yang menjamin kelangsungan proses ekonomi-politik dalam sistem negara.
Jika di bandingkan dengan realitetnya, sungguh berbeda apa yang kita bicarakan dengan apa yang kita lihat secara inderawi. Demokrasi bagi kita, saat ini, adalah kebebasan pendapat, dengan basic organisasi yang tidak nyata dalam pengertian massa maupun gagasan ekonomistisnya. Kekacauan praktek politik Indonesia terakhir dimulai dari tidak jelasnya batasan antara formasi sosial dan formasi politik.
Ini artinya, tugas demokratik perjuangan pemuda adalah menciptakan formasi sosial yang sehat lewat penguatan basis produktif berdasar perkembangan mode produksi kapital yang berlangsung dalam masyarakat. Ideologisasi dalam artian penyadaran atas fakta-fakta penindasan, haruslah menjadi kurikulum proses pendidikan massa-sektoral. Disinilah tugas awal kita, sebuah upaya mempersepsikan masyarakat kedalam organisasi-organisasi perjuangan. Jika ini berlangsung secara permanen dan konsisten maka ia akan merumuskan dengan sendirinya formasi politik sebagai manifestasi dari upaya mempersepsikan kekuasaan.

Ø  Tugas Kerakyatan Perjuangan Pemuda

Kerakyatan adalah orientasi bagi masyarakat dan pemerintahan yang demokratis. Dalam perspektif masyarakat sipil, kerakyatan diartikan bagaimana mendorong kritisisme rakyat terhadap mode produksi dan negara serta rakyat mampu memberdayakan dirinya secara pengetahuan, ekonomi dan politik, sehingga mampu mendorong negara untuk menjadi revolusioner. Sedangkan dalam perspektif masyarakat politik, kerakyatan adalah bagaimana kemampuan negara, partai politik, parlemen dan birokrasi untuk selalu menyerap artikulasi dari grass root bukannya sekedar menjadi alat dari borjuasi.
Rakyat, kerakyatan, tentu saja sebuah subyek-subyek sadar yang memiliki sikap atas berbagai bentuk penindasan yang dialaminya. Penindasan obyektif adalah tatkala sumber dan alat produksi dirampas oleh negara maupun kapital. Indonesia sebagai pengertian tanah dan air sebagai basis produksi, mensiratkan modus penindasan pada perampasan hak milik tanah dari para petani-penggarap, hingga karenanya ia disebut kaum kromo, kaum proletar.
Keberadaan pabrik-pabrik akibat proses industrialisasi, mensaratkan keadaan buruh kita pada kondisi minimum. Hal ini bisa diterangkan sebagai akibat bentukan industri kita yang dibangun dengan murahnya tenaga kerja. Relokasi industri dari negara maju. Upah minimum regional membuktikan tingkat  
Perjuangan kerakyatan adalah mengembalikan apa yang menjadi hak dari buruh dan petani kita. Yang kita maksud dengan hak adalah kemampuan petani untuk berproduksi kembali melalui kepemilikan tanah produktif oleh petani menggantikan kepemilikan tunggal oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar.  Bagi buruh, tidak ada jalan lain kecuali memaksa sang kapitalis untuk merubah manajerial pabrik dengan kesejahteraan buruh sebagai dasar hubungan produksi yang saling menguntungkan.

Ø  LANGKAH-LANGKAH PERJUANGAN
Telah kita ketahui bersama bahwa penindasan-penghisapan (eksploitasi-super-intensif) terhadap rakyat Indonesia telah menumpulkan segenap potensi perjuangan dalam artian yang paling maju, untuk tidak disebut modern. Pengalaman yang paling akhir misalnya, penindasan Jenderal Soeharto 32 tahun lamanya, menyisakan disorientasi subyek politik dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Lewat hegemoni, homogenisasi, dan dominasi, praktek depolitisasi-deideologisasi berlangsung efektif dengan menggunakan banyak saluran kekuasaan.
Situasi ini, tentu saja, menyulitkan kembalinya rakyat pada keadaan aslinya sebagai pemilik sah kedaulatan. Sementara laju kebebasan (pasar) mengajarkan praktek bermasyarakat dengan individualisme akut. Bagi kalangan pergerakan keadaan ini harus diantisipasi dalam langkah-langkah perjuangan yang menjanjikan kemajuan yang terukur dan perubahan yang berarti. Langkah-langkah tersebut akan menjadi sketsa dasar pergerakan yang secara dialektik menjadi strategi taktik bagi perubahan yang permanen.
Jika ditilik dari kepercayaan kita pada garis perjuangan massa, maka pengelolaan ruang bergerak sekaligus fokus pengorganisiran menjadi penting artinya di tengah identifikasi kita atas simpul-simpul material penindasan. Mulai dari hegemoni sebagai pola penundukan individu atas dunia dalam (inner world) manusia Indonesia, dominasi sebagai bentuk model perwakilan politik melalui alat negara (militer) dan penjara sebagai mekanisme penyelesaian untuk rakyat-desertir, sampai homogenisasi sebagai pola penyeragaman berpikir yang secara kongkrit memasuki relung mitologis kebudayaan masyarakat lewat museum-museum, merupakan bukti diberhalakannya model kekuasaan kewahyuan tanpa setitik kritik kawula.
Adalah segenap problem pergerakan yang harus dijawab dan dimajukan semaksimal mungkin. Untuknya, diperlukan kesabaran revolusioner hingga garis perjuangan politik massa menjadi mainstrem besar perubahan Indonesia kontemporer.
Disinilah Front perjuangan menjadi relevan kehadirannya. Mengapa front ?
Front bagi kita adalah manifestasi dari keyakinan kita bahwa pergerakan harus dilakukan secara kolektif, multi-sektoral, mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, dengan basic orientasi yang jelas dan tegas. Hal ini hanya bisa terjadi apabila kita selalu percaya, bahwa memperbincangkan politik berarti harus mendiskusikan kembali untuk siapakah dan dengan jalan apakah kita melakukannya. Politik merupakan upaya perubahan nasib orang banyak, ini artinya cara sekaligus langkah yang di tempuh harus dirumuskan oleh mereka-mereka yang memiliki nasib buruk dan selalu dirundung malang akibat dipinggirkan oleh negara dan modal.
Tidak ada pilihan lain bagi kita untuk selalu melakukan apa yang akan kita sebut sebagai transformasi total, praktek penyadaran semesta bersamaan dengan mengajarkan pentingnya untuk melawan dan menolak pembodohan lewat bidang-bidang produksi yang mereka kuasai. Inilah inti pendidikan, sebuah langkah dari kita untuk kita. Sebuah proses pencerahan, pengkayaan dan manifestasi sikap dalam keadaan ideologis-ilmiah. Dalam pengertian ini, layak untuk ditegaskan perlunya melakukan dua hal pokok guna kebutuhan pembebasan, Pertama, mendidik rakyat dengan pergerakan. Kedua, mendidik penguasa dengan perlawanan.

Ø  Mendidik Rakyat Dengan Pergerakan

Faktor-faktor terpenting dalam masyarakat adalah institusi-institusi immaterial, kekuatan pekerja-pegawai, kesadaran sosial, dan hubungan produksi-sosial. Masing-masing di antaranya dalam situasi negara post-kolonial, post-dekolonisasi (purna orde baru) memberi kesempatan bagi segenap kekuatan progresif untuk menjaga stamina lapisan bawah dalam rangka untuk secara terus-menerus melakukan perlawanan sekaligus kritik atas model perlawananya, inilah yang disebut  praktek penyadaran. Langkah ini harus dilakukan secara langsung, terbuka, rasional dan hanya bisa dilakukan dengan organisasi. Output dari kerja basis ini adalah, massa yang terpimpin, terorganisir, dan siap bergerak dalam aksi-aksi yang disepakati. Massa-aksi akan terus berkembang, dengan organisasi yang menjadikan model komunikasi  eksternal maupun internal, guna laju pergerakan aksiologis.
Dengan jalan ini, massa-aksi yang terdiri dari pegawai-pekerja yang sadar sosial, akan memaksa hubungan produksi konservatif dan hubungan sosial yang feodal melakukan perombakan, jika tidak akan tergilas oleh jalinan logika perlawanan kuasa rakyat. Dari gambaran ini dapat direfleksikan, bahwa perlawanan yang dilakukan secara spontan, penuh improvisasi, tanpa organisasi justru akan membahayakan cita-cita perubahan, di depan meja peradilan kaum kapitalis.

Ø  Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan

Buruknya perangai kekuasaan dan keberhasilannya mempraktekkan homogenisasi sehingga terjadi keseragaman mental antara penguasa dengan yang dikuasai menampilkan wajah sejarah yang kadang teramat bengis bagi fikiran-fikiran rakyat dan kemerdekaanya. Machiavellianisme Purba yang dipraktekkan Orde Baru dan membawahsadari umumnya aktiviteit politik Indonesia saat ini menjadi kesadaran kita bahwa dimensi penghalalan segala cara telah memungkinkan para pemburu kekuasaan menggagahi ruang-ruang pergerakan rakyat dengan kekuatan ekonomi politik mereka.
Yang pertama, bahwa kekuasaan harus dilawan adalah karena yang bersangkutan telah sedemikian rupa memanfaatkan secara maksimal hampir keseluruhan cara produksi dan cara berfikir masyarakat sehingga terasing dari kesadaran otonomnya menyangkut alat serta sumber-sumber produksi.
Proses dan opini sejarah Indonesia yang lebih banyak dilahirkan dari mainstream pertarungan kekuasaan dalam dimensinya yang sangat sempit harus diakhiri dengan proses pergerakan yang maju bersama sebagai pendidik penguasa berdasar penegasan paradigma tentang sejarah yang lebih berfihak pada kebutuhan perkembangan masyarakat, bukan pergantian kekuasaan.
Satu-satunya cara untuk mendidik penguasa, menyadarkan mereka, adalah dengan melawannya; tidak dengan kekuasaan baru tetapi dengan Kuasa Rakyat yang ajeg dalam kesadaran sejarah pembebasan. Membangun kerangka rasional yang menghubungkan kembali rakyat dengan kedaulatan ekonomi politiknya, pada sisinya yang lain merupakan proses mendidik golongan yang dengan ideologi penindasannya telah menguasai sumber-sumber ekonomi politik Indonesia.
Pada tahapnya yang paling maju, proses pendidikan ini harus dapat memulihkan kemampuan rakyat mengajukan cara pandang baru menyangkut kekuasaan. Cita-cita kesejahteraan yang menjadi dasar pergerakan rakyat, adalah hal yang niscaya untuk juga menyertakan nilai serta ideologi yang sanggup mengatasi keunggulan ideologi kaum penindas.

Ø  Strategi taktik

Untuk menuju pada cita-cita pembebasan, dapat dirumuskan pada dua hal pokok. Pertama, menempatkan Nasional-Demokrasi-Kerakyatan di dalam kehidupan masyarakat sipil. Ini berarti bahwa upaya penyadaran dilakukan untuk mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sektoral. Berbagai jenis kelompok organisasi populis, diberikan tradisi kritis dan dimajukan dalam kebutuhan obyektif basis dalam tuntutan-tuntutan politis dengan negara dan modal sebagai penanggung jawab sosial basis. Ukuran yang harus digunakan secara kualitatif, adalah pengelolaan organisasi demokratis yang tercermin pada organiser-organiser dalam tindakan-fikiran. Organiser tersebut harus mampu menjadi bordes (penghubung) bagi kebutuhan jaringan kerja sektoral, dalam kewilayahan nasional. Secara kuantitatif, organisasi harus mampu melahirkan kader-kader sebagai avant garde terbentuknya simpul-simpul massa aksi. Kedua hal tersebut secara kongkrit harus membidani perubahan-perubahan dalam skala yang ditetapkan.
Jika sketsa dasar tersebut kita lakukan secara dialektik, maka Nasional-Demokrasi-Kerakyatan pantas untuk memasuki lingkar masyarakat politik. Di dalamnya, diusahakan sebuah perjuangan secara terus menerus untuk melakukan dua hal mendasar. Pertama, pada level sistem negara, posisi negara haruslah netral terhadap kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kedua, jika kekuatan basis menjadi cukup kuat maka tidak bisa tidak negara haruslah mewakili kepentingan basis, akibat penghisapan dalam cara produksi yang merugikan rakyat.
Sebagai perjuangan yang kontinue, kita meletakkan dialektika sebagai prinsip demokratik. Tidak sekali-kali dianjurkan cara kerja mekanika, karena jika itu yang terjadi, maka sesungguhnya bukanlah kemajuan terukur yang kita miliki namun justru kemajuan secukupnya, dalam ideologi, keberadaan basis. Klaim politik ditempatkan pada thesis positif yakni, representasi material dari kerja basis dan bukannya thesis negatif yang merepresentasi dari imaji, angan-angan, kaum pemburu kekuasaan semata.
Akhirnya, “perubahan mustahil lahir dari satu orang, melainkan lahir oleh banyak orang” tugas kita adalah melakukan pendidikan rakyat dengan pergerakan dan mendidik penguasa dengan perlawanan. Bagi kita, terdengar tidak terdengar, terlihat tidak terlihat gemuruh perubahan harus di suarakan.
bangkitlah para pemuda..!!”

Comments

Popular Posts