Kecam Rektor Unanda. FPPI Palu Gelar Aksi Solidaritas


Foto: (bung ichal) dokumentasi aksi solidaritas.
Jum'at, 15/03/19

Respublica – Pada tanggal 18 Januari 2019, Aksi Mahasiswa Universitas Andi Djemma, (UNANDA PALOPO) Sulawesi Selatan, sudah mendapat respon yang mengarah pada tindakan represif oleh para birokratnya. Dalam kesaksian para mahasiswa UNANDA yang ikut dalam aksi tersebut, Kabag Keuangan, Wakil 1,2 dan 3 datang melakukan pengusiran terhadap massa. Bahkan, Wakil Rektor 2 mengambil paksa spanduk tuntutan sebagai bentuk perintah untuk segera membubarkan massa yang berkumpul. Massa tetap kukuh bertahan sebelum Rektor Universitas tersebut datang menemui mereka dan mendengarkan tuntutan aksi. Meskipun begitu, Rektor tidak kunjung datang.

Aksi dilanjutkan pada 21 januari 2019. Namun, tetap saja tidak ada respon yang memuaskan. Hingga, aksi selanjutnya pada 26 Januari 2019, bukannya mendapatkan tanggapan terhadap tuntutan para pengunjuk rasa. Pihak birokrat justru memberikan Surat Peringatan (SP) dan pemanggilan orang tua terhadap beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai kepala dari aksi tersebut. Puncaknya, pada 31 Januari 2019 berujung pada Skorsing (1 sampai 2 semester) terhadap beberapa mahasiswa.

Sebelumnya, pada tahun 2017 dengan kasus yang hampir sama. Skorsing oleh Universitas Negeri Semarang (UNNES) Terhadap mahasiswa yang melakukan aksi menolak uang pangkal. Dan barang tentu masih banyak kasus serupa yang tidak terekspos oleh media arus utama karena kalah dengan isu yang berbau selangkangan atas dasar lebih diminati oleh pasar saja.

Bahkan, lebih parah lagi, jika skorsing-dianggap Kampus-tidak begitu berpengaruh untuk menghentikan gejolak Mahasiswa, Drop Out (DO) pun bisa dengan mudah dilayangkan. Contoh kasus yang terdekat adalah yang terjadi di UNJ pada tahun 2016 karena dianggap sebagai provokator dari aksi yang tuntutannya menolak adanya uang pangkal. Tahun yang sama, DO pun terjadi pula pada 3 mahasiswa Universitas Islam Makassar yang mempertanyakan jabatan rektornya lebih dari 2 periode serta Skorsing 11 orang mahasiswa Universitas Tadulako pada tahun 2017 karena melakukan aksi dan mengkritik kebijakan kampus. Serta banyak kasus serupa lainnya, hanya dalam waktu yang sama.

Hal ini merupakan gambaran krisis. Tindakan Represi semacam ini, kerap kali dilakukan kampus untuk menunjukkan posisi status quo-nya terhadap mahasiswa. Dengan tujuan untuk menciptakan rasa takut dikalangan mahasiswa dalam mengepresikan keresahannya dan berujung pada pengebiri daya kritis. Setelah daya kritis terkebiri dan mati, para pemangku kekuasaan (di kampus) akan leluasa melakukan untuk terus menyudutkan mahasiswa menjadi alat yang selunak mungkin mereka bentuk semaunya. Kampus yang sejatinya merupakan tempat reproduksi budaya ilmiah, akademis dan demokratis ironisnya kerap mengebiri ekspresi kritis. Skorsing ataupun DO terhadap mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya (yang merupakan daya kritis) adalah bukti. Padahal, kritisisme merupakan cara membangun kewarasan dan keadilan yang telah dilindungi oleh undang-undang Dasar 1945. Salah satunya yang tertuang dalam pasal 28 yang menyatakan, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan” serta masih banyak lagi undang-undang yang mengatur kebebasan menyatakan aspirasi dan kritik. Maka, segala bentuk tindakan yang mengancam kebebasan berekspresi serta mengekspresikan Kritisisme harus segeran dihentikan bahkan dihilangkan. Lebih jauh lagi, represi semacam ini mencederai demokrasi yang tentunya harus segera mejadi perhatian, karena itu adalah kedzaliman terhadap kemanusiaan. 

Atas kondisi demikian kami dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia(FPPI) Pimpinan Kota Palu menuntut;Mengecam Skorsing yang dilayangkan terhadap Mahasiswa UNANDA, Mengecam segala bentuk tindak represif kampus terhadap mahasiswa, Wujudkan Demokrasi Sejati di ruang lingkup akademis.    

Rilis by; FPPI Kota Palu

Comments

Popular Posts